Pada dasarnya, aku menyayangimu. Sungguh menyayangimu. Meski
aku tak tau paras tampan wajahmu, dan gagahnya dirimu membawa sebuah senapan
dengan semangat juang yang tinggi. Dulu, setiap malam aku selalu berdoa kepada
Tuhan agar aku bermimpi tentangmu, agar aku tau, betapa tampannya dirimu.
Namun, itu dulu! Bukan sekarang. Seiring berjalannya waktu,
aku tak bisa mengendalikan pikiranku. Aku berjalan begitu saja, cepat, lebih
cepat, dan sangat cepat. Seolah ingatanku hancur, remuk, dan tidak ada harapan
untuk ku mengingat semua tentangmu.
Maafkan aku, namun aku benar benar tak ingin mengingatmu
untuk saat ini. kau pernah ada dalam proses kehidupanku. Bagaimanapun juga, kau
yang terhebat. Kini kau telah tiada. Pahlawanku telah tiada.
Kau. Pahlawan hebat yang melindungi aku dan ibu. Meski aku
tak tau, tapi nenek pernah bilang, kau yang menghapus air mata ibu ketika ibu
merasa kalah saat berperang dengan keadaan.
Kau yang memenangkan hati ibu diantara banyak tentara, polisi, dan anak
juragan yang datang untuk melamar ibu menjadi pendamping hidupnya.
Kau beruntung. Bisa mendapatkan perempuan secantik ibu. Kau
beruntung, perempuan yang kau nikahi sangat kuat sekali. Perempuan itu
melahirkan seorang bayi tepat tujuh bulan ketika kau meninggalkannya sendirian
disini.
Perempuan cantik yang setia menjadi pendamping hidupmu,
selalu datang berziarah kepersemayamanmu setiap hari kamis itu, ku panggil dia
‘ibu’.
Maafkan aku, pahlawanku, perempuan cantikmu itu kini telah
berbeda. Kini dia tak pernah mengunjungimu, kini dia sering kali memarahiku.
Dan dia sudah menemukan pendamping hidupnya setelah kau tiada. Dan maafkan aku
juga, pahlawanku. Sempat aku melupakanmu, bahkan hampir satu tahun lebih aku
tak mengunjungi persemayamanmu.
Maaf, maafkan aku. Tapi asal kau tau, kau tetap
menjadi pahlawan hebatku dan ibu. Kau tetap menjadi Tentara Negara Indonesia
Angkatan Udara yang terhebat, hebat dan sangat hebat. Selamat jalan pahlawanku,
kau tetap menjadi ayahku. Ayah terhebat yang pernah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar