Sabtu, 08 Juni 2013

Ini, baca saja!

Aku tak tahu mengapa Tuhan mempertemukan kita. Aku tak tau mengapa Tuhan mengizinkan aku untuk mengenalmu, mengagumimu, dan menyayangimu. Aku tahu Tuhan misterius. Aku tahu Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk hidup kita, kelak. Entah, aku menyayangimu tanpa alasan. Tulus. Itu saja. Aku hanya ingin kau tau, ribuan rentet kata tak akan mampu menjelaskan padamu seberapa aku menyayangimu. Ribuan bintang yang menemaniku tiap malam tak akan mampu berbicara kepadamu, seberapa sering aku merindukanmu. Biarlah waktu yang akan menjawabnya, meski ini bukanlah sebuah pertanyaan. Akupun yakin, kau tak pernah tahu seberapa aku menyayangimu. Terimakasih telah singgah dalam hidup sederhanaku..

Jumat, 07 Juni 2013

Pidato Kelulusan Pelajar SMA, Erica Goldson, pelajar di Coxsackie-Athen­s High School, New York, tahun 2010.



*TULISAN KECE*




Pidato Kelulusan Pelajar SMA yang menggetarkan dan menggugat kesadaran kita atas makna sistem pendidikan, pidato ini diucapkan oleh Erica Goldson, pelajar di Coxsackie-Athen­s High School, New York, tahun 2010.




“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.




Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang akan datang kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasik­an bahwa saya telah sanggup bekerja.




Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.




Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya,­ tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?




Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”

Pintu Itu, Kini Tak Terbuka Lagi, Ibu..

Dulu,

Aku marah,

Ketika kau

Mengunci pintu,

Menutup jendela,


Dan,

Mematikan lampu..



Setiap Hari

Sepulang sekolah,

Aku panas,

Hatiku terbakar,

Jantungku Menderu mengepulkan asap kegosongan,

Aku Marah!

Aku sangat marah!

Ketika kau,

Mengunci pintu,

Ketika kau,

Menutup jendela..



Namun, 

Kini aku mengerti, Ibu..



Mengapa kau kunci pintu itu,

Mengapa kau tutp jendela itu..



Supaya tak ada maling,

Supaya aku tak mendengar,

Raungan angin yang menyakitkan,



Supaya aku aman,

Agar tak kulihat jalan yang terjal,

Dan yang pasti,

Terhindar dari pelecehan seksual,



Maafkan aku ibu,

Kini aku mengerti,



Aku berjanji,

Akan aku kunci pintu itu,

Akan ku tutup jendela itu,



Sebelum aku tidur,

Setelah semua orang lelap,

Dan, 

Kumatikan Lampu itu,

Agar aku tau kegelapan,

Agar aku mengerti,

Tak selamanya kita punya cahaya,



Ada kalanya,

Aku bersahabat dengan kunang-kunang,

Atau..

Bolehkah aku menyapa kupu-kupu malam?

Untuk menemaniku, Capung tak bercahaya..



Tak usah khawatir, Ibu..
Akan aku kunci pintu itu,
Setelah aku berkelana..




Ayah, Aku Kembali Lagi..

Ayah, Aku Kembali Lagi..

Aku datang lagi, Ayah..
Aku datang untuk mengajakmu,
Bermain puisi seperti yang kau ajarkan dulu,

Aku rindu, Ayah..
Aku merindukanmu,
Apa kau merindu padaku juga, Ayah?

Hai Ayah..
Esok ketika senja tiba,
Aku ingin bercita tentang jingganya,
Aku ingin kau tau,
Apa yang terjadi dalam hidupku, tanpamu
Ayah,

Ketika pagiku menjadi sendu,
Siangku mendung penuh kelabu,
Hingga Senja tiba,
Ia pun meronta,
Tak mau bercerita,
Ia tak mau memberi tahuku, Ayah..
Tentang hidup petangku,
Dan riwayat kelam dalam tubuhku,

Ahh..
Sudahlah, Ayah,
Tanpa bertanya pada senja,
Aku bisa mencaritahu sendiri,
Tapi kau masih mau, kan?
Bermain puisi dalam indahnya diksi,
Dengan putrimu ini..
Kau mau kan, Ayah?

Esok aku akan datang lagi,
Mengajakmu bermain puisi,
Setiap hari,
Agar aku bisa menjadi sastrawan sejati,
Sepertimu, Ayah..

Akan ku bawakan mawar putih dan beberapa melati,
Untuk membuat persinggahanmu,
Segar,
Dan wangi..
 
Aku akan datang, Ayah..
Menabur Bunga dan bercerita,
Tentang Hari ini,
Dan senja yang aku takuti..